Identitas Buku
Judul: Seribu Kucing untuk Kakek
Penulis: Suyadi
Ilustrator: Suyadi
Editor: Nurhadiansyah
Penerbit: Noura Kids
Cetakan, Tahun: ke-1, Mei 2024
ISBN: 978-623-8094-33-2
Harga: Rp69.000,00,-
Kakek dan Nenek merasa kesepian. Keduanya tidak punya teman ngobrol. Kakek punya ide untuk memelihara seekor kucing. Kucing itu akan menemani Kakek dan Nenek sehingga mereka tidak akan merasa kesepian lagi.
Nenek dan Kakek kompak mencari kucing piaraan. Mereka menanyai orang-orang yang mereka temui. Pun, ciri-ciri kucing yang dimau disebutkan. Hasilnya nihil.
Hingga di suatu pagi, Kakek dan Nenek dikejutkan hadirnya kucing di rumah mereka. Tak hanya seekor kucing melainkan banyak kucing. Kakek sampai bingung menghitung jumlahnya. Mereka hanya menginginkan seekor kucing, tapi yang datang malah sebanyak itu.
Kakek berpikir bagaimana cara mengurangi kucing-kucing itu. Lalu diadakanlah lomba makan berhadiah kucing. Selesaikah masalahnya? Tentu saja tidak! Namun, berawal dari lomba makan, Kakek dan Nenek tak lagi kesepian.
Pustaka Siwi tertarik untuk membahas tema cerita. Jadi, ulasan buku kali ini condong pada tema cerita Seribu Kucing untuk Kakek. Ada apa dengan tema ceritanya? Tema cerita Seribu Kucing untuk Kakek ialah issue kesepian di kalangan kakek dan nenek, tapi dibungkus dalam cerita anak. Penulis cerita, yang juga dikenal dengan nama Pak Raden ini, tampaknya punya misi menggugah kepedulian orang-orang terhadap para kakek dan nenek yang mengalami kesepian.
Keinginan kakek dan nenek sederhana, tapi terbentur praktik keseharian yang susah banget. Tokoh Kakek, saking merasa kesepian, sampai ngide untuk memelihara kucing. Memelihara kucing diangkap sebagai jalan terakhir memenuhi kebutuhan untuk berinterakasi dengan makhluk lain yang memberi kesalingan. Kucing juga bisa dianggap sebagai simbol: ketika tidak ada manusia yang mau menemaninya, hewan pun jadi.
Untuk
buku yang lebih banyak dibaca oleh anak-anak, issue pergulatan kaum lansia
dengan kesepian tentu saja jadi bahasan yang "berat". Bisa jadi, pesan
yang ingin disampaikan penulis cerita justru akan jadi silent message yang
ketimbun oleh sesuatu yang jauh lebih menarik dan
sesuai dengan usia pembaca anak-anak. Menyampaikan pesan yang luput inilah menjadi tugas orang dewasa, pendamping pembaca anak-anak.
Kalau issue-nya berat, bagaimana issue yang berat ini bisa dikemas untuk bacaan anak-anak? Suyadi memasukkan unsur anak-anak di dalam bagian cerita, seperti lombanya berupa aktivitas yang disuka anak-anak, target peserta lomba adalah anak-anak, dan keseruan lomba makan yang diadakan oleh Kakek. Biar cerita makin hidup, Suyadi menambah bumbu humor lewat cerita maupun ilustrasi.
Pustaka Siwi menemukan hal lain yang tak kalah menarik di luar tema kesepian. Hal menarik ini bisa menginspirasi pembaca maupun penulis cerita anak. Penulis cerita anak bisa memetik buah pengetahuan dari cara Suyadi meng-create cerita.
Pertama, strategi bercerita.
Persis seperti buku Pedagang Peci Kecurian, Suyadi pandai mencipta adegan dan bermain alur. Gaya bercerita ala Suyadi meninggalkan impresi bagi Pustaka Siwi.
Kedua, di balik cerita yang menghibur, ada moral value tentang risiko.
Bahkan di dalam hidup sehari-hari, kita wajib mempertimbangkan faktor risiko pada setiap tindakan dan keputusan yang dibuat. Pembaca bisa belajar dari risiko yang dialami oleh Kakek (dapat kiriman banyak kucing) atas keinginannya (ingin punya satu kucing peliharaan). Ketika keinginannya ternyata menimbulkan dampak yang tak terduga (risk) maka Kakek dan Nenek harus siap bertanggung jawab.
Ketiga, menilik Indonesia di masa silam.
Bagian Katalog dalam Terbitan (KDT) buku menyebut bahwa Seribu Kucing untuk Kakek pertama kali dicetak tahun 1974. Pustaka Siwi memperkirakan latar belakang cerita bisa mengambil situasi tahun 1970-an atau sebelumnya. Lewat ilustrasi yang cukup detil, pembaca bak kembali ke masa ketika rumah masih berdinding anyaman bambu, sumber penerangan dari lampu minyak, nenek masih mengenakan kain jarik dan kebaya serta orang yang berprofesi sebagai penjual dinding anyaman bambu.
Pertanyaannya, apakah Generasi Alpha bisa membayangkan ada penjual keliling dinding anyaman bambu?
Keempat, seribu kucing yang datang ke rumah Kakek dan Nenek mengandung makna bahwa ada banyak hiburan yang ditawarkan.
Kakek dan Nenek bebas memilih hiburan seperti apa yang akan dinikmati, tapi sesungguhnya yang dibutuhkan yakni manusia yang bisa diajak dan mengajak ngobrol.
Kelima, ekspresi tokoh-tokohnya.
Lewat ekspresi tokoh-tokohnya menjadikan cerita tidak sekadar cerita bergambar. Tokoh-tokoh yang hidup, ekspresif meskipun hitam-putih menjadi daya sebuah cerita yang ditulis dan diilustrasikan oleh orang yang sama.
Pokok-Pokok Renungan Berdasar Cerita Seribu Kucing untuk Kakek:
1. Aku lebih mudah bermain bersama teman-temanku daripada mengunjungi kakek dan nenekku barang seminggu dua kali. Apakah aku berani menolak ajakan bermain teman-temanku dan memilih menghabiskan waktu lebih banyak bersama kakek dan nenekku?
2. Apa yang bisa aku perbuat untuk kakek dan nenek yang tinggal hanya berdua? atau malah seorang diri?
3. Bagaimana aku bisa merasa dekat dengan kakek dan nenekku?
4. Lihatlah kembali masa kecilmu. Ketika kakek dan nenekmu begitu bahagia bertemu denganmu. Mereka membawakanmu mainan, menggendongmu bergantian, meninabobokkan di peraduan, mengajakmu bermain. Kini, engkau sudah tumbuh besar. Perasaan seperti apa yang kau rasakan ketika melihat mereka masih berada bersamamu di usiamu saat ini?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar