Gambar Cover Depan
(Foto: Koleksi Pribadi Pustaka Siwi)
Identitas Buku
Nama Penulis: Sisilia Vena
Editor: Yulia Loekito
Ilustrator: Nurina Susanti
Editor Gambar: Nai Rinaket
Aksara Jawa: Rakhmi Dwi Rahayu
Layouter: Gin Teguh
Pemeriksa Aksara Latin: Impian Nopitasari
Penerbit: Lingkarantarnusa
Cetakan, Tahun Terbit: Pertama, Januari 2024
ISBN: 978-623-7615-97-2
Bonus: Stiker
Mbah Salami minta bantuan Gendhis membuat takir. Takir akan dipakai untuk upacara miwit. Karena baru pertama kali, Mbah Salami mengajari Gendhis membuat takir lebih dulu. Kemudian Gendhis mencoba membuat takir sendiri. Ternyata membuat takir itu tidak mudah. Gendhis gagal berulang kali. Kegagalan apa saja yang dialami oleh Gendhis, ya? Apakah Gendhis bisa membuat takir?
Pustaka Siwi masih ingin mengajak pembaca mencicipi cipta rasa lokal buku anak. Setelah Walde Nenang Uran Wair dari Flores, NTT dan Maem Kepel dari Daerah Istimewa Yogyakarta, tiba giliran Gawe Takir. Membolak-balik halaman bukunya, Gawe Takir mengambil bagian dari tradisi miwit. Muatan lokal Gawe Takir fokus pada benda bernama takir.
Gawe Takir, bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, artinya "Membuat Takir". Takir merupakan wadah berbentuk khusus dan biasanya dibuat dari daun pisang. Di dalam kultur masyarakat Jawa atau yang terpengaruh oleh budaya Jawa, jika ada aktivitas membuat takir berarti ada acara adat yang berkaitan dengan daur hidup atau tradisi masyarakat suatu daerah. Jarang sekali orang bikin takir untuk keperluan pribadi sehari-hari. Pasti ada peristiwa budaya yang melatarbelakangi pembuatan takir.
Peristiwa budaya dalam Gawe Takir adalah miwit (halaman 4), yakni selamatan untuk mengawali masa panen padi. Miwit sendiri dari asal katanya wiwit yang berarti mulai. Wiwitan sebutan lainnya. Miwit atau wiwitan biasa dilakukan oleh masyarakat petani sebagai ungkapan syukur, karena hasil panen melimpah sekaligus mengucap harap musim tanam berikutnya akan berhasil. Tak heran jika nama Dewi Sri disebut (halaman 23).
Gawe Takir memberi perspektif baru memperkenalkan tradisi Nusantara. Ilustrasi takir memberi gambaran bentuk takir, cara membuat takir, tantangan membuat takir, alat-alat yang dibutuhkan untuk membuat takir, dan isian untuk takir. Ilustrasi bikinan Nurina Susanti, yang bergaya pensil warna, memberi kesan sederhana dan ringan. Tokoh-tokohnya pun digambarkan imut-imut.
Jika pembaca
tidak pernah mengenal miwit atau wiwitan, di daerah mana pun, proses mengenal takir dan
miwit jelas memerlukan media tambahan sebagai penjelas yang sifatnya lebih konkret. Ilustrasi miwit di dalam buku cerita tidak cukup memberi pemahaman upacara miwit, karena terlihat seperti sekelompok manusia sedang piknik di sawah ketimbang sebuah komunitas lokal yang tengah menjalankan tradisi setempat. Di samping memang lebih banyak bercerita tentang takir, sesuai judul cerita.
Pustaka Siwi akhirnya membuat catatan untuk buku Gawe Takir.
Pertama, peran Mbah Salami terkesan hanya memancing. Setelah Mbah Salami sedikit mengajari Gendhis bikin takir, figurnya menghilang di tengah cerita. Yang berproses lebih banyak Gendhis dan anak-anak lain yang jadi temannya Gendhis.
Misalkan tokoh Mbah Salami sengaja tidak diberi porsi dialog berlebih, coba pakai teknik show don't tell. Ilustrasikan peran Mbah Salami dalam bentuk adegan-adegan mengajari Gendhis yang baru pertama kali bikin takir atau menemani Gendhis berusaha membuat takir.
Kedua, anak-anak yang berperan sebagai teman-temannya Gendhis tampak abu-abu. Perannya terkesan nanggung. Sebaiknya, optimalkan tokoh yang memang memiliki motif dan karakter yang kuat sehingga tokoh tersebut harus muncul dan dimunculkan. Tokoh yang mampu menggerakkan cerita. Jika membutuhkan figuran, munculkan di waktu yang tepat. Pada saat miwit misalnya.
Misalkan tokoh Mbah Salami sengaja tidak diberi porsi dialog berlebih, coba pakai teknik show don't tell. Ilustrasikan peran Mbah Salami dalam bentuk adegan-adegan mengajari Gendhis yang baru pertama kali bikin takir atau menemani Gendhis berusaha membuat takir.
Kedua, anak-anak yang berperan sebagai teman-temannya Gendhis tampak abu-abu. Perannya terkesan nanggung. Sebaiknya, optimalkan tokoh yang memang memiliki motif dan karakter yang kuat sehingga tokoh tersebut harus muncul dan dimunculkan. Tokoh yang mampu menggerakkan cerita. Jika membutuhkan figuran, munculkan di waktu yang tepat. Pada saat miwit misalnya.
Ketiga, Pustaka Siwi bingung dengan cerita Mbah Salami mengajak Gendhis, tapi teman-temannya ikut bergabung. Selanjutnya, Mbah Salami pun tetap minta bantuan dan ngomong sama Gendhis. Teman-teman Gendhis yang ada di antara Mbah Salami dan Gendhis seperti dipaksakan keberadaannya. Coba saja anak-anak itu dihilangkan, ceritanya tetap bisa jalan, kok.
Saran Pustaka Siwi, lebih baik fokus pada tokoh Gendhis saja. Kalaupun butuh tokoh pembantu nggak usah banyak-banyak dan munculkan pada cerita yang "membutuhkan" kehadiran banyak orang.
Keempat, pada halaman 20-21, adegan upacara miwit, tokoh Pak Modin memandu doa bersama. Namun, yang mana Pak Modin-nya nggak ada ciri khasnya. Hanya tokoh Mbah Sulami dan Gendhis yang dikenali, karena sudah muncul sejak awal cerita. Barangkali gambar Pak Modin bisa dilengkapi dengan pakai peci, pakai baju khusus yang menampakkan identitasnya.
Kelima, Pustaka Siwi menemukan ketidakselarasan pada bagian blurp dengan teks di awal cerita (lihat foto cover belakang di akhir artikel ini). Akan tetapi, bagian blurp ini malah memberikan kalimat kunci tentang upacara miwit.
Keenam, gambar takirnya terlalu kecil sehingga sebagai pembaca, Pustaka Siwi bertanya-tanya, bagaimana tahapan bikin takir? Padahal jika gambar takir di-zoom misalnya dan memperlihatkan detail-nya maka tujuan penulisan buku Gawe Takir bisa tercapai. Bukan sekadar memotret aktivitas sekelompok anak.
Ketujuh, terjadi perulangan dialog, semata ingin menginformasikan bentuk takir yang mirip kapal (halaman 6 dan 18).
Meskipun masih terdapat kelemahan terhadap teknik menjahit cerita, Pustaka Siwi melihat sisi lebih dari buku Gawe Takir, yakni
1. Lembar belajar aksara jawa.
2. Ide cerita tentang takir.
3. Membangun awareness pembaca mengenai takir sehingga memudahkan pembaca mengingat bentuk takir seperti kapal.
Contoh: Takire kados kapal alit (Halaman 6)
4. Pemilihan latar belakang mengambil peristiwa budaya miwit. Ibarat paket combo, takir tidak berdiri sendiri tapi dikasi contoh takir itu dipakai kapan, buat apa?
5. Ada tokoh dan penokohan yang membantu pembaca berefleksi soal karakter. Pembaca akan belajar pendidikan karakter melalui tokoh Gendhis.
6. Makanan tradisional untuk miwit.
7. Menyediakan terjemahan.
8. Ukuran buku yang handy, mudah dibawa serta kertas yang berkualitas.
Q Apakah Pak Modin nama orang?
A Pak Modin bukan nama orang. Pak Modin adalah sebutan bagi seseorang yang berperan dalam hal keagamaan. Salah satu tugas Pak Modin adalah memimpian doa dalam acara miwit (halaman 21).
Q Siapakah Dewi Sri itu?
A Dewi Sri adalah Dewi Padi (lihat halaman 23).
Q Selain tentang miwit, ada pengetahuan apa saja yang akan didapat pembaca?
A Pembaca tidak hanya mendapat pengetahuan tentang miwit, tapi juga pengenalan aksara Jawa. Kalau sudah bisa membaca aksara Jawa, teks Gawe Takir sebagai sarana memperlancar kemampuan membaca aksara Jawa sekaligus memperkaya kosakata bahasa Jawa.
Q Bagaimana caranya bikin takir?
A Urutan bikin takir digambarkan dalam bentuk ilustrasi di halaman 5.
Cover Bagian Belakang
(Foto: Koleksi Pribadi Pustaka Siwi)
(Foto: Koleksi Pribadi Pustaka Siwi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar